Hierarki atau urutan tingkatan jabatan/wewenang tidak hanya ada pada jabatan struktural politik ataupun organisasi yang tertulis di atas kertas. Nyatanya dalam sosial kemasyarakatan ada jenjang hierarki yang tidak pernah tertulis oleh notaris dalam formalitas SK, tetapi eksistensi nya jelas sekali terasa.
Namun pada tulisan ini kita tidak membahas hierarki seperti pada gambar di atas, tetapi akan dibahas hierarki sosial dilihat dari sudut pandang pengaruh seseorang terhadap lingkungannya. Jenjang hieraki ini didapatkan dari buah pikir penulis ketika menjalani masa KKN di Kecamatan Labuan, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten (pasca-bencana Tsunami Selat Sunda akhir tahun 2018).
(Hierarki ditulis secara berurutan dari yang terendah ke tertinggi)
1. Keberadaannya Seperti Tidak Ada.
Ada istilah dalam pepatah arab, “Wujudihi ka’adamihi.’, arti kasar nya, “ada lu gak ada lu sama aja.” Di sini lah hirarki pengaruh terendah seseorang. Diam, bicara, ataupun tindakan sesorang yg berada pada tingkat ini sama sekali tidak diperdulikan oleh lingkungan. Kira-kira kenapa sampai demikian? Bukan. Bukan karena lingkungan yang terlalu menganggapnya rendah sehingga menghiraukan orang pada strata ini, akan tetapi kualitas orang yg ada pada strata ini memang masih sangat jauh dari lingkungannya. Analogi mudah nya adalah ketika dua benda (misal; uang Rp100rb vs Rp1rb) dibandingkan, maka uang seribu menjadi tidak bernilai. Ketika pembanding nya semakin besar (misal; Rp1 Miliyar vs Rp1rb), maka seribu kembali seperti tidak terlihat.
Lantas bagaimana solusi nya?
Pilih lah satu di antara 2 solusi berikut;
A. Besarkan nilai anda, atau;
B. Kecilkan nilai orang lain.
Tentu membesarkan nilai anda akan lebih mudah dan lebih indah dibanding jika harus mengecilkan nilai orang lain.
2. Keberadaan Mulai Diakui.
Setelah seseorang melewati fase 1, maka seseorang akan mulai diakui. Di fase ini lah seseorang akan berambisi melakukan banyak hal untuk mendapatkan pengakuan dari lingkungan. Contoh yang paling lumrah adalah kenakalan remaja, yang memang tujuan mereka adalah mendapatkan pengakuan. Ataupun pegawai baru yang ingin mendapatkan pengakuan dari senior-senior nya, tentu akan melakukan hal-hal yang membuat orang lain mengganggap diri nya memiliki kompetensi hingga akhirnya keberadaannya mulai diakui.
Namun sayang kebanyakan dari kita berhenti pada fase ini. Ketika sudah mulai diakui, ambisi jadi berhenti, kerja tanpa motivasi, inovasi dan kreativitas pun ikut mati.
3. Memberikan Manfaat.
“Sebaik-baik manusia adalah yang beri manfaat pada orang lain.”
Orang yang berada pada fase ini hanyalah dia yang memiliki ketulusan hati. Ketika orang-orang di sekitar sudah mulai memuji, ia tetap terus berkarya tanpa henti. Kegundahan orang pada fase ini adalah, “apa yang kiranya dapat ku lakukan untuk memberikan manfaat bagi orang lain.” bukan tentang seberapa “wah” saya di mata orang lain, dan bukan tentang sensasi atau prestasi yang sekedar mengangkat derajat diri sendiri.
Jikalau boleh saya kaitkan dengan tugas akhir (cerita nya mahasiswa), pada jenjang Strata-1 dituntut untuk fokus pada output suatu wawasan atau pengetahuan. Sedangkan Strata-2 lebih fokus kepada pengembangan metode penelitian, dan pada Strata-3 adalah tentang seberapa manfaat penelitian yang dihasilkan.
“So, gak perlu nunggu S-3 untuk memberikan manfaat.”
4. Menjadi Agen Perubahan.
Agen perubahan/Agent of Change atau dalam istilah arab Mujaddid, adalah dia yang mampu membuat suatu perubahan baru di lingkungan masyarakat (tentunya) menjadi lebih baik.
Membuat perubahan lebih sulit dari sekedar memberikan manfaat, karena dalam membuat perubahan kita tidak hanya dihadapkan pada perkara membuat orang senang dengan kebaikan kita, tetapi juga meluruskan “urat nadi” yang menyimpang di masyarakat. (Ngerti?)
Membuat perubahan lebih sulit dari sekedar memberikan manfaat, karena dalam membuat perubahan tidak hanya dihadapkan pada perkara membuat orang senang dengan kebaikan, tapi juga meluruskan “urat nadi” yang menyimpang.
Oke mudah nya gini, lu kalo gua kasih manfaat itu ya gua kasih makan, gua kasih duit, gua kasih tempat tinggal, dan kasih hal-hal yang buat lu enak. Tapi ketika gua ingin buat lu berubah menjadi lebih baik, gua akan larang lu begadang, larang lu maen game, larang lu tidur (abis) subuh, larang lu ini itu dan laen sebagainya demi kebaikan lu.
“Kira-kira enak gua larang-larang gitu? Kan enggak.”
Nah itu lah alasan kenpara Rasulullah Muhammad pada saat beliau belum diutus sebagai Nabi dan Rasul, beliau sangat dicintai oleh kaum nya, sangat dielu-elukan, sangat dibanggakan, dan hal-hal positif lainnya. Namun ketika beliau diutus sebagai Rasul, beliau melarang dari menyembah berhala, melarang berzina, melarang minum khamr, dan lain sebagainya. Sehingga kondisi yang dahulu kaum nya sangat mencintai beliau, justru berbalik 180 derajat membenci beliau.
“Oke, sampe situ bisa difahami ya?”
5. Menjadi Teladan.
Sampailah kita pada hierarki sosial tertinggi, dimana seseorang tidak perlu banyak berucap, tetapi orang-orang mendengarkannya, cukup sedikit bertindak, orang-orang banyak mengikutinya. Setiap perkataan, sikap, dan tindak-tanduk nya dijadikan alasan dan landasan oleh orang-orang dalam berbuat.
Mudah nya gini deh, ada orang (Misal nya; Bejo) yang ketika ditanya kenapa klo makan buah lebih duluan dari makan nasi, dan dia malah jawab nya; “si A (nyebutin nama org lain) cari makan nya gitu, dan dia sampe usia tua Alhamdulillah selalu sehat dan kuat.”
Jawaban tersebut mengindikasikan bahwa Bejo meneladani si A dalam perlakuan makan buah. Namun jawaban Bejo seperti di atas, tidak bisa dijadikan landasan bahwa si A adalah seorang teladan, karena bisa jadi (dasar) si Bejo nya aja yang memang suka ikut-ikutan, atau memang kebetulan si A memaksa Bejo untuk ngikutin dia.
Nah kisah Bejo sama si A di atas baru pada one case kehidupan, dan itu sangat-sangat belum bisa dikatakan teladan, karena teladan yg sesungguhnya adalah dia yg seluruh perilaku kehidupannya menjadi landasan bagi kehidupan orang lain. Dari bangun tidur sampai tidur lagi.
Teladan yg sesungguhnya adalah dia yg seluruh perilaku kehidupannya menjadi landasan bagi kehidupan orang lain.
Ya, dan keteladanan yang seperti itu hanya ada pada diri Rasulullah Shallallahu Alaihi Wa Sallam.
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasûlullâh itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allâh dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak mengingat Allâh.” (Q.S. Al-Ahzab : 21)